L’Etranger, Absurditas Hidup

2399
buku LEtranger

Mungkin semua orang yakin kalau mereka punya cita-cita. Punya mobil, bisa mencicil rumah, jadi CEO, lulus cumlaude, dan lain sebagainya. Tapi pernahkah Anda berpikir kalau hidup Anda hanya semacam repetisi?

Seperti Sisyphus dalam mitologi Yunani, yang dihukum untuk mendorong batu, menggulirkannya lagi, dan begitu seterusnya. Saat satu tujuan dalam hidup Anda sudah tercapai, ada tujuan lain yang menanti. Tapi, polanya sama. Atau semacam karyawan kantor yang pergi pagi, naik KRL, bekerja, pulang malam, dan melakukan hal itu berulang kali dengan tujuan mendapatkan gaji.

Padahal, kita tahu muara dari hidup adalah kematian. Lalu mengapa kita masih saja menjalankan semuanya? Menjalankan sebuah fase abadi bernama absurditas. Tidak jelas. Repetisi yang berakhir sia-sia.

Maka, konsep tersebut adalah konsep yang senantiasa diusung Camus dalam setiap karyanya. Hingga akhir hayat. Sebetulnya, karya-karya Camus sudah lama diterbitkan [pada pertengahan abad ke-20], tetapi, bukankah karya sastra tak seperti koran atau media, apapun bentuknya? Ia menyuarakan kenyataan lewat fiksi [kebohongan], maka dari itu, ia abadi. Ia dapat dibicarakan kapanpun kita mau. Menembus waktu. 

Seperti karya Camus yang berjudul L’Etranger, atau Orang Asing. Asing di sini bukanlah seperti imigran atau semacamnya. Namun keterasingan dalam hidup. Meursault, seorang pegawai biasa, dengan gaji biasa, wajah biasa, namun satu hal yang tak biasa: skeptis. Ia tidak menangis pada pemakaman sang Ibu, karena menurutnya, menangis ataupun tidak, Ibu sudah meninggal. Dan semua orang akan meninggal.

Ia juga berniat menikahi Marie, tanpa peduli apakah ia mencintainya atau tidak. Hal itu tak menjadi masalah. Maka, beberapa orang menganggapnya psikopat. Padahal, bukankah sebetulnya setiap emosi yang kita keluarkan sebetulnya merupakan pemanis saja?

Sampai suatu hari, ia dan Raymond, tetangganya, bermasalah dengan beberapa Orang Arab. Awalnya Camus tak peduli. Namun suatu waktu, terjadilah pertengkaran.

Si Orang Arablah yang pertama memulai. Ia melukai Raymond hingga bibirnya berdarah. Sampai sini, Meursault masih tidak peduli. Namun ketika ia tengah berjalan di pantai [sembari membawa pistol Raymond, yang tadinya ia simpan tanpa alasan apapun], ia melihat si orang Arab tengah tertidur di tepian pantai.

Entahlah, saat melihat debur ombak, ia merasa ada gejolak yang tak wajar. Semacam ombak berlarian, seperti akan mengejarnya. Matahari pun amat terik hingga keringat hampir masuk ke matanya. Pada saat itu, sang orang Arab pun tersadar dan menghampirinya, akan melawan.

Tanpa tendensi apapun, ia meletuskan tembakan. Satu kali, si orang Arab mati. Namun, entah mengapa ia meneruskannya hingga tembakan tersebut berjumlah lima kali.

Tentu saja, atas perbuatan tersebut, ia dihukum di penjara. Sebetulnya, Meursault bisa melontarkan alasan membela diri. Namun hal tersebut tak ia lakukan. Menurutnya, membela diri hanya memperpanjang umurnya beberapa waktu saja. Setelah itu, ia juga akan mati, bukan?

Ia menganggap penjara sebagai sebuah hal yang harus dibiasakan, seperti pekerjaan, dll. Lagipula, dengan kenangan yang ia bawa, ia bisa meramaikan selnya sendiri. Begitulah, yang ia lakukan hingga hari hukuman mati. Tanpa perlu mengindahkan paksaan pastur untuk bertaubat. Apa yang perlu disesali?

Buku Camus yang satu ini memang suram. Membuat kita menyadari, bahwa sebetulnya, punyakah kita tujuan hidup? Terkadang, hal-hal yang indah, emosi, perasaan, impian yang terkabul, semuanya hanyalah semacam dekorasi yang pada akhirnya sia-sia. Karena pada akhirnya, untuk apa? [teks: @intankirana | foto: goodreads] 

 

Intan Kirana
Latest posts by Intan Kirana (see all)

LEAVE A REPLY