Jangan Sayang, Buang Saja!

1370

Adalah sebuah tabiat lamaku menyimpan barang dengan pertimbangan “siapa tahu nanti butuh” atau tidak dibuang karena benda tersebut memberi kenangan tertentu – tanpa fungsi yang jelas. Tiket nonton dan kartu tanda kepanitiaan adalah dua hal yang aku kumpulkan dan didokumentasikan di agenda. Post it berisi to-do-list tidak langsung aku buang karena aku merasa membutuhkan bukti rekam tertulis atas hal-hal yang aku kerjakan. Daftar ini bisa sangat panjang!

Ketika aku tinggal di sebuah unit mungil, aku dipaksa untuk bijak dalam membeli dan menyimpan barang. Tidak ada kemewahan ruang yang membuat aku bisa semena-mena menyimpan ini dan itu. Aku mulai menyortir pakaian dan tas yang bertumpuk. Sebagian aku berikan kepada beberapa orang, mereka bisa memakainya atau menjualnya. Tumpukan majalah yang menjadi satu titik lemahku pun aku singkirkan. Hanya majalah yang betul-betul penting – dan itu biasanya berhubungan dengan kondisi sosial politik dan ekonomi bukan fashion  – yang aku simpan. Sisanya, lagi-lagi aku berikan kepada pramubakti kantor. Dia bisa jual majalah itu dengan harga yang lumayan.

Aku bisa dengan santai menuduh kedua orangtuaku yang menurunkan kebiasaan ini. Ketika akhir tahun kemarin aku melakukan pembersihan besar-besaran di rumah orangtuaku, aku menghadapi kesulitan untuk meyakinkan orangtuaku, terutama ayahku untuk menyingkirkan begitu banyak perkakas bekas. Paku-paku. Sekumpulan kunci. Sekrup. Pigura yang setengah rusak. Kumpulan cakram padat dari program komputer jaman kiwari. Semua yang disimpan atas nama “siapa tahu nanti dibutuhkan”.

Kenyataan bahwa barang-barang itu dilapisi debu yang super tebal dan bahkan keberadaannya pun lebih sering tidak disadari merupakan sebuah bukti bahwa barang-barang tersebut tidak dipakai. Ketika seseorang butuh paku, dia akan membeli paku baru dan tidak membongkar kaleng-kaleng bekas yang bertumpuk-tumpuk di rak buku.

Proses membersihkan sebuah kamar lama yang kemudian menjadi kamar baruku menghasilkan 5 plastik besar sampah, yang sebagian dibeli oleh tukang pengumpul brangkal dan barang bekas! Hanya untuk satu kamar, loh.

Aku memutuskan melakukan hal yang sama di meja kantorku.Ini adalah posisi dan meja ke-4 yang aku miliki selama bekerja disini. Sebetulnya, aku cukup rutin membersihkan mejaku – terutama ketika ada tenggat waktu sebuah laporan, karena aku butuh sebuah ruang kerja yang rapi dan bersih sebelum memulai kerja besar. Paling tidak, setiap kali pindahan, aku membuang dokumen-dokumen yang tidak lagi dibutuhkan. Tapi tokh, aku masih menghasilkan setumpuk sampah yang cukup besar. Aku tahu sih, sebagian besar sampah kertas itu masih bisa dipakai ulang atau setidaknya dijual.

Aku baru tahu, bahwa apa yang aku lakukan bisa jadi adalah cara untuk “unclutter my life”. Membuang tumpukan-tumpukan percecelan (istilahku, aku tidak bisa mendefinisikan kata yang satu ini) dalam hidupku. Melangkah ke depan, tidak hanya butuh perencanaan matang luar biasa dan mimpi besar, tetapi melepas hal-hal yang menghambat kita maju. Terkadang ada perasaaan “sayang” untuk membuang hal yang begitu melekat pada kehidupan kita, tapi tokh tetap harus dilakukan. Kaki kita sulit melangkah ketika ada begitu banyak hal menghambat perjalanan!

Jadi, apakah sebarapa banyak “clutter” yang kamu bawa dari tahun-tahun di belakang?

Oya, ini dia artikel yang aku temukan hari ini: 12 ways to unclutter your life.

mellyana
Latest posts by mellyana (see all)

LEAVE A REPLY